Oleh M. Iwad
Mengapa
Harus Meninggalkan Bank Konvensional???
Bunga bukanlah hal baru dalam sejarah. Bunga bukan hanya
diharamkan oleh agama Islam tapi dalam agama lainpun mengharamkannya. Kenapa
kita masih ragu tentang hal ini. Tulisan saya ini hanya sekedar mengulang
kembali dan saling mengingatkan sesama muslim dan tulisan ini jauh dari
kesempurnaan.
Sesungguhnya bahwa bunga bank adalah riba tidak ada keraguan,
karena telah di fatwakan oleh majelis ulama sedunia yang tergabung sikap Negara
OKI (Organisasi Konferensi Islam) tahun 1970. Indonesia adalah salah satu
anggota Negara OKI. Selama ini keputusan OKI tersebut tidak dikomunikasikan
media massa di Indonesia. Kini orang Islam di Indonesia ingin tahu bagaimana
sikap MUI bertalian dengan riba dan bunga bank. Sikap MUI mengenai bunga bank
juga sudah jelas: bunga bank haram, terlihat sebagai berikut: MUI telah
mendirikan Bank Syariah (Bank Muamalat) sebagai upaya menggantikan bank
konvensional yang diyakini berpraktek riba.
Ketua MUI, KH.Hasan Basri (Alm) dalam sambutan pembukaan
kantor Bank Muamalat Indonesia (BMI) di Kompl. Dewan Dakwah Indonesia Jakarta
tanggal 12 Januari 1998, menfatwakan “Kalau sudah ada Bank Syariah, sudah tidak
ada lagi darurat (menggunakan bank konvensional) dan bank lain itu haram
(sumber dokumen HUMAS BMI).
Dalam menetapkan bunga sama dengan riba bukanlah hal yang
mudah tapi memerlukan ijtihad sehingga didapatkan bukti bahwa bunga tersebut
merupakan riba nasi’ah karena nilai pokok tersebut menjadi meningkat dan
berlipat ganda sesuai dengan yang dimaksud riba nasi’ah. (Veithzal Rivai:
Islamic Banking)
Agar menguatkan kita akan larangan riba. Dalam tahapan ini
Allah Swt tidak menurunkan ayat yang langsung mengharamkan riba. Tapi ada
tahapan-tahapan, sebagai berikut:
Tahap Pertama,
menolak anggapan bahwa pinjaman riba pada zahirnya menolong mereka yang
memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT. Firman
Allah SWT:
Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar-Ruum: 39)
Tahap kedua, riba
digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras kepada orang Yahudi
yang memakan riba. Firman Allah SWT:
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan,
Arinya: Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, (160). Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta
benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (161) (QS. An-Nisa: 160-161)
Tahap ketiga, riba
itu diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda.
Diturunkan pada tahun ke-3 Hijriah. Firman Allah SWT:.
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali
Imran: 130)
Tahap akhir sekali,
ayat riba diturunkan oleh Allah SWT. Yang dengan jelas sekali mengharamkan apapun
jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang
diturunkan menyangkut riba.
Firman Allah SWT:
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (278). Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan
memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (279) (QS. Al-Baqarah
278-279)
Muqatil bin hayan dan as-Suddi menyebutkan bahwa redaksi ayat
ini diturunkan berkenaan dengan Bani `Amr bin Umair dari suku Tsaqif dan Bani
Mughirah dari Bani Makhzum. Di antara mereka telah terjadi praktek riba pada
masa jahiliyah. Setelah Islam datang dan mereka memeluknya, suku tsaqif meminta
untuk mengambil harta Riba itu dari mereka. Kemudian mereka bermusyawarah, dan
Bani Mughirah pun berkata: “Kami tidak akan melakukan riba dalam Islam dan
menggantikannya dengan usaha yang disyariatkan. Kemudian `Utab bin Usaid,
pemimpin Makkah, menulis surat membahas mengenai hal itu dan mengirimkannya
kepada Rasulullah s.a.w.. Maka turunlah ayat tersebut. Lalu Rasulullah s.a.w.
membalas surat ’Utab dengan surat yang berisi:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba yang belum dipungut, jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
Ayat ini merupakan peringatan keras dan ancaman yang sangat
tegas bagi orang yang masih tetap mempraktekkan riba setelah adanya peringatan
tersebut. Ibnu Juraij menceritakan Ibnu `Abbas mengatakan bahwasannya ayat ini
maksudnya ialah, yakinlah bahwa Allah dan Rasul akan memerangi kalian.
Sedangkan menurut `Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu `Abbas
mengenai firman Allah tentang riba, maksudnya, barangsiapa yang masih tetap
melakukan praktek riba dan tidak melepaskan diri darinya, maka wajib atas Imam
kaum Muslimin untuk memintanya bertaubat, jika ia mau melepaskan diri darinya,
maka keselamatan baginya, dan jika menolak, maka ia harus dipenggal lehernya.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan, Imam asy-Syafi’i memberitahu
kami, dari Sulaiman bin `Amr, dari ayahnya, ia menceritakan, aku pernah
mendengar Rasulullah bersabda: “Ketahuliah, sesungguhnya setiap riba dari riba
Jahiliyah itu sudah dihapuskan. Maka bagi kalian pokok harta (modal) kalian,
kalian menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Dan Firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-Baqarah: 180, sebagai
berikut:
Artinya: Dan jika (orang yang
berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.
dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
Mengetahui.
Dampak Negatif Riba Bagi
Pribadi dan Masyarakat
Sebagai bentuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya,
Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Setiap
umatku dijamin masuk surga kecuali yang enggan”. Para shahabat
bertanya, “Siapa yang enggan masuk surga wahai Rasulullah?”. Beliau
menjawab, “Barangsiapa yang ta’at kepadaku pasti masuk surga dan
barangsiapa yang berbuat maksiat (tidak ta’at) kepadaku itulah orang yang enggan
(masuk surga)”. (HR.al-Bukhari)
Ibadah haji, shadaqah dan infak dalam bentuk apapun tidak
diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kalau berasal dari
hasil riba, Rasulullahshallahu ‘alahi wasallam bersabda dalam
hadits yang shahih,“Sesunguhnya Allah itu baik dan Dia tidak menerima
kecuali dari hasil yang baik”.
Allah subhanahu wata’ala tidak mengabulkan
doa orang yang memakan riba, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Ada
seorang yang menengadahkan tangannya ke langit berdo’a, “Ya Rabbi, Ya Rabbi,
sementara makanannya haram, pakaiannya haram, dan daging yang tumbuh dari hasil
yang haram, maka bagaimana mungkin do’anya dikabulkan.” (HR.Muslim)
Hilangnya keberkahan umur dan membuat pelakunya
melarat, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Tidaklah
seseorang memperbanyak harta kekayaan dari hasil riba, melainkan berakibat pada
kebangkrutan dan melarat.” (HR.Ibnu Majah).
Sistim riba menjadi sebab utama kebangkrutan negara dan
bangsa. Realita menjadi saksi bahwa negara kita ini mengalami krisis ekonomi
dan keamanannya tidak stabil karena menerapkan sistim riba, karena para
petualang riba memindahkan simpanan kekayaan mereka ke negara-negara yang
memiliki ekonomi kuat untuk memperoleh bunga ribawi tanpa memikirkan maslahat
di dalam negeri sendiri, sehingga negara ini bangkrut.
Pengembangan keuangan dan ekonomi dengan sistim riba
merupakan penjajahan ekonomi secara sistimatis dan terselubung oleh
negara-negara pemilik modal, dengan cara pemberian pinjaman lunak. Dan karena
merasa berjasa menolong negara-negara berkembang, maka dengan
kebijakan-kebijakan tertentu mereka mendikte negara yang dibantu tersebut atau
mereka akan mencabut bantuannya.
Memakan riba menjadi sebab utama su`ul khatimah, karena riba
merupakan bentuk kezhaliman yang menyengsarakan orang lain, dengan cara
menghisap “darah dan keringat” pihak peminjam, itulah yang disebut rentenir
atau lintah darat.
Pemakan riba akan bangkit di hari Kiamat kelak seperti orang
gila dan kesurupan. Ayat yang menyebut kan tentang hal ini, menurut Syaikh
Muhammad al-Utsaimin memiliki dua pengertian, yakni di dunia dan di hari Kiamat
kelak. Beliau menjelaskan bahwa jika ayat itu mengandung dua makna, maka dapat
diartikan dengan keduanya secara bersamaan. Yakni mereka di dunia seperti orang
gila dan kesurupan serta bertingkah layaknya orang kerasukan setan (tidak
peduli, nekat dan ngawur, red). Demikian pula nanti di Akhirat mereka bangun
dari kubur juga dalam keadaan seperti itu.
Sedangkan mengenai ayat, ”Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah,” maka beliau mengatakan kehancuran
materi (hakiki) dan maknawi. Kehancuran materi seperti tertimpa bencana dalam
hartanya sehingga habis, misalya sakit yang parah dan mengharuskan berobat ke
sana-sini, atau keluarganya yang sakit, kecurian (dirampok), terbakar dan
lain-lain, ini merupakan hukuman dunia. Atau binasa secara maknawi, dalam arti
dia memiliki harta yang bertumpuk-tumpuk tetapi seperti orang fakir karena
hartanya tidak memberi manfaat apa-apa. Apakah orang seperti ini kita katakan
memiliki harta? Tentu tidak, bahkan ia lebih buruk daripada orang fakir, sebab
harta bertumpuk-tumpuk yang ada di sisinya, dia simpan untuk ahli warisnya
saja. Sementara dia tidak dapat mengambil manfaat darinya sedikit pun. Inilah
kebinasaan harta riba secara maknawi.
Dampak negatif di atas hanya sebagian kecil masih banyak yang
lainnya, seperti:
1.
Melanggar ketentuan Allah dan Rasul
2.
Bunga menyebabkan inflasi
3.
Merampas kekayaan orang lain
4.
Merusak moralitas dan ketentraman jiwa
5.
Melahirkan benih kebencian dan permusuhan
6.
Yang kaya jadi konglomerat, yang miskin jadi
melarat
7.
Kebahagian semu.
8.
Dan lain-lain
Apa
tanggapan sebagian masyarakat terhadap bank konvensional?
Banyak masyarakat tidak memahami tahapan riba dan mendalami
maksud dari ayat-ayat Allah Swt. Salah satu karyawan bank konvensional
mengatakan bahwa yang dilarang adalah bunga yang berlipatganda sedangkan di
bank hanya beberapa persen saja. Kemudian saya membacakan ayat tahap ketiga dan
keempat agar tidak salah pemahaman tentang ayat yang disebutkannya itu.
Adalagi orang yang beranggapan bahwa bunga di bank tidak
termasuk riba karena tidak ada unsur mendzalimi orang lain. Semuanya dilakukan
atas dasar suka sama suka dan bunganya yang didapatkan bank relatif kecil dan
tidak menyengsarakan peminjam. Orang-orang ini selalu saja mementingkan
pendapatnya padahal sudah jelas ada fatwa tentang pengharamanya bukan hanya di
Indonesia tapi Internasionalpun sudah menetapkan keharaman bunga. Walaupun
bunga yang didapatkan sedikit bukan berarti tidak haram. Bukankah sedikit masih
tetap haram juga meskipun bunganya dibelakang koma. Mengenai tidak mendzalimi
sebenarnya sudah ada contoh seperti pada saat krisis moneter pada tahun
1997-1998.
Dan mereka selalu beranggapan bahwa bunga itu tetap halal.
Padahal bunga itu ditetapkan di awal belum tentu suatu usaha akan untung tapi
mereka sudah bisa memastikan keuntungan yang didapatkan. Padahal jika mereka
membuka ayat suci al-Qur’an dan memahaminya seperti:
Artinya: Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya
sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan
tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan
diusahakannya besok (manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa
yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, namun demikian
mereka diwajibkan berusaha). dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi
mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.
Lukman: 34)
Tentu bunga
yang ada di dalam lembaga keuangan tersebut sudah menentang ketetapan Allah
Swt. Maka patutkah kita juga membenarkan pandangan bunga? Mari kita saling
mengingatkan dan menasehati. Tidak dapat dipungkiri bank syariah belumlah
sempurna tapi bukan mesti kita mengabaikan tapi ini adalah langkah awal untuk
perubahan. Dukunglah perkembagan ekonomi Syariah dan berperan aktif dalam
perkembangannya.
Dan masih
banyak tanggapan masyarakat terhadap ekonomi Syariah. Jangan menyerah pasti ada
jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar