Minggu, 20 Oktober 2013

MENJAWAB TANTANGAN BUNGA (INTEREST)


 Oleh M. Iwad
Mengapa Harus Meninggalkan Bank Konvensional???
Bunga bukanlah hal baru dalam sejarah. Bunga bukan hanya diharamkan oleh agama Islam tapi dalam agama lainpun mengharamkannya. Kenapa kita masih ragu tentang hal ini. Tulisan saya ini hanya sekedar mengulang kembali dan saling mengingatkan sesama muslim dan tulisan ini jauh dari kesempurnaan.
Sesungguhnya bahwa bunga bank adalah riba tidak ada keraguan, karena telah di fatwakan oleh majelis ulama sedunia yang tergabung sikap Negara OKI (Organisasi Konferensi Islam) tahun 1970. Indonesia adalah salah satu anggota Negara OKI. Selama ini keputusan OKI tersebut tidak dikomunikasikan media massa di Indonesia. Kini orang Islam di Indonesia ingin tahu bagaimana sikap MUI bertalian dengan riba dan bunga bank. Sikap MUI mengenai bunga bank juga sudah jelas: bunga bank haram, terlihat sebagai berikut: MUI telah mendirikan Bank Syariah (Bank Muamalat) sebagai upaya menggantikan bank konvensional yang diyakini berpraktek riba.
Ketua MUI, KH.Hasan Basri (Alm) dalam sambutan pembukaan kantor Bank Muamalat Indonesia (BMI) di Kompl. Dewan Dakwah Indonesia Jakarta tanggal 12 Januari 1998, menfatwakan “Kalau sudah ada Bank Syariah, sudah tidak ada lagi darurat (menggunakan bank konvensional) dan bank lain itu haram (sumber dokumen HUMAS BMI).
Dalam menetapkan bunga sama dengan riba bukanlah hal yang mudah tapi memerlukan ijtihad sehingga didapatkan bukti bahwa bunga tersebut merupakan riba nasi’ah karena nilai pokok tersebut menjadi meningkat dan berlipat ganda sesuai dengan yang dimaksud riba nasi’ah. (Veithzal Rivai: Islamic Banking)
Agar menguatkan kita akan larangan riba. Dalam tahapan ini Allah Swt tidak menurunkan ayat yang langsung mengharamkan riba. Tapi ada tahapan-tahapan, sebagai berikut:
Tahap Pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba pada zahirnya menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT. Firman Allah SWT:
Artinya:  Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar-Ruum: 39)
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Firman Allah SWT:
 
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan,
Arinya:  Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, (160).   Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (161) (QS. An-Nisa: 160-161)
Tahap ketiga, riba itu diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Diturunkan pada tahun ke-3 Hijriah. Firman Allah SWT:.
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali Imran: 130)
Tahap akhir sekali, ayat riba diturunkan oleh Allah SWT. Yang dengan jelas sekali mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
Firman Allah SWT:
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (278).  Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (279) (QS. Al-Baqarah 278-279)
Muqatil bin hayan dan as-Suddi menyebutkan bahwa redaksi ayat ini diturunkan berkenaan dengan Bani `Amr bin Umair dari suku Tsaqif dan Bani Mughirah dari Bani Makhzum. Di antara mereka telah terjadi praktek riba pada masa jahiliyah. Setelah Islam datang dan mereka memeluknya, suku tsaqif meminta untuk mengambil harta Riba itu dari mereka. Kemudian mereka bermusyawarah, dan Bani Mughirah pun berkata: “Kami tidak akan melakukan riba dalam Islam dan menggantikannya dengan usaha yang disyariatkan. Kemudian `Utab bin Usaid, pemimpin Makkah, menulis surat membahas mengenai hal itu dan mengirimkannya kepada Rasulullah s.a.w.. Maka turunlah ayat tersebut. Lalu Rasulullah s.a.w. membalas surat ’Utab dengan surat yang berisi:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba yang belum dipungut, jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
Ayat ini merupakan peringatan keras dan ancaman yang sangat tegas bagi orang yang masih tetap mempraktekkan riba setelah adanya peringatan tersebut. Ibnu Juraij menceritakan Ibnu `Abbas mengatakan bahwasannya ayat ini maksudnya ialah, yakinlah bahwa Allah dan Rasul akan memerangi kalian.
Sedangkan menurut `Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu `Abbas mengenai firman Allah tentang riba, maksudnya, barangsiapa yang masih tetap melakukan praktek riba dan tidak melepaskan diri darinya, maka wajib atas Imam kaum Muslimin untuk memintanya bertaubat, jika ia mau melepaskan diri darinya, maka keselamatan baginya, dan jika menolak, maka ia harus dipenggal lehernya.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan, Imam asy-Syafi’i memberitahu kami, dari Sulaiman bin `Amr, dari ayahnya, ia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Ketahuliah, sesungguhnya setiap riba dari riba Jahiliyah itu sudah dihapuskan. Maka bagi kalian pokok harta (modal) kalian, kalian menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Dan Firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-Baqarah: 180, sebagai berikut:
Artinya:  Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.
Dampak Negatif  Riba Bagi Pribadi dan Masyarakat
Sebagai bentuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Setiap umatku dijamin masuk surga kecuali yang enggan”. Para shahabat bertanya, “Siapa yang enggan masuk surga wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Barangsiapa yang ta’at kepadaku pasti masuk surga dan barangsiapa yang berbuat maksiat (tidak ta’at) kepadaku itulah orang yang enggan (masuk surga)”. (HR.al-Bukhari)
Ibadah haji, shadaqah dan infak dalam bentuk apapun tidak diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kalau berasal dari hasil riba, Rasulullahshallahu ‘alahi wasallam bersabda dalam hadits yang shahih,“Sesunguhnya Allah itu baik dan Dia tidak menerima kecuali dari hasil yang baik”.
Allah subhanahu wata’ala tidak mengabulkan doa orang yang memakan riba, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Ada seorang yang menengadahkan tangannya ke langit berdo’a, “Ya Rabbi, Ya Rabbi, sementara makanannya haram, pakaiannya haram, dan daging yang tumbuh dari hasil yang haram, maka bagaimana mungkin do’anya dikabulkan.” (HR.Muslim)
 Hilangnya keberkahan umur dan membuat pelakunya melarat, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang memperbanyak harta kekayaan dari hasil riba, melainkan berakibat pada kebangkrutan dan melarat.” (HR.Ibnu Majah).
 Sistim riba menjadi sebab utama kebangkrutan negara dan bangsa. Realita menjadi saksi bahwa negara kita ini mengalami krisis ekonomi dan keamanannya tidak stabil karena menerapkan sistim riba, karena para petualang riba memindahkan simpanan kekayaan mereka ke negara-negara yang memiliki ekonomi kuat untuk memperoleh bunga ribawi tanpa memikirkan maslahat di dalam negeri sendiri, sehingga negara ini bangkrut.
 Pengembangan keuangan dan ekonomi dengan sistim riba merupakan penjajahan ekonomi secara sistimatis dan terselubung oleh negara-negara pemilik modal, dengan cara pemberian pinjaman lunak. Dan karena merasa berjasa menolong negara-negara berkembang, maka dengan kebijakan-kebijakan tertentu mereka mendikte negara yang dibantu tersebut atau mereka akan mencabut bantuannya.
Memakan riba menjadi sebab utama su`ul khatimah, karena riba merupakan bentuk kezhaliman yang menyengsarakan orang lain, dengan cara menghisap “darah dan keringat” pihak peminjam, itulah yang disebut rentenir atau lintah darat.
Pemakan riba akan bangkit di hari Kiamat kelak seperti orang gila dan kesurupan. Ayat yang menyebut kan tentang hal ini, menurut Syaikh Muhammad al-Utsaimin memiliki dua pengertian, yakni di dunia dan di hari Kiamat kelak. Beliau menjelaskan bahwa jika ayat itu mengandung dua makna, maka dapat diartikan dengan keduanya secara bersamaan. Yakni mereka di dunia seperti orang gila dan kesurupan serta bertingkah layaknya orang kerasukan setan (tidak peduli, nekat dan ngawur, red). Demikian pula nanti di Akhirat mereka bangun dari kubur juga dalam keadaan seperti itu.
 Sedangkan mengenai ayat, ”Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah,” maka beliau mengatakan kehancuran materi (hakiki) dan maknawi. Kehancuran materi seperti tertimpa bencana dalam hartanya sehingga habis, misalya sakit yang parah dan mengharuskan berobat ke sana-sini, atau keluarganya yang sakit, kecurian (dirampok), terbakar dan lain-lain, ini merupakan hukuman dunia. Atau binasa secara maknawi, dalam arti dia memiliki harta yang bertumpuk-tumpuk tetapi seperti orang fakir karena hartanya tidak memberi manfaat apa-apa. Apakah orang seperti ini kita katakan memiliki harta? Tentu tidak, bahkan ia lebih buruk daripada orang fakir, sebab harta bertumpuk-tumpuk yang ada di sisinya, dia simpan untuk ahli warisnya saja. Sementara dia tidak dapat mengambil manfaat darinya sedikit pun. Inilah kebinasaan harta riba secara maknawi.
Dampak negatif di atas hanya sebagian kecil masih banyak yang lainnya, seperti:
1.      Melanggar ketentuan Allah dan Rasul
2.      Bunga menyebabkan inflasi
3.      Merampas kekayaan orang lain
4.      Merusak moralitas dan ketentraman jiwa
5.      Melahirkan benih kebencian dan permusuhan
6.      Yang kaya jadi konglomerat, yang miskin jadi melarat
7.      Kebahagian semu.
8.      Dan lain-lain
Apa tanggapan sebagian masyarakat terhadap bank konvensional?
Banyak masyarakat tidak memahami tahapan riba dan mendalami maksud dari ayat-ayat Allah Swt. Salah satu karyawan bank konvensional mengatakan bahwa yang dilarang adalah bunga yang berlipatganda sedangkan di bank hanya beberapa persen saja. Kemudian saya membacakan ayat tahap ketiga dan keempat agar tidak salah pemahaman tentang ayat yang disebutkannya itu.
Adalagi orang yang beranggapan bahwa bunga di bank tidak termasuk riba karena tidak ada unsur mendzalimi orang lain. Semuanya dilakukan atas dasar suka sama suka dan bunganya yang didapatkan bank relatif kecil dan tidak menyengsarakan peminjam. Orang-orang ini selalu saja mementingkan pendapatnya padahal sudah jelas ada fatwa tentang pengharamanya bukan hanya di Indonesia tapi Internasionalpun sudah menetapkan keharaman bunga. Walaupun bunga yang didapatkan sedikit bukan berarti tidak haram. Bukankah sedikit masih tetap haram juga meskipun bunganya dibelakang koma. Mengenai tidak mendzalimi sebenarnya sudah ada contoh seperti pada saat krisis moneter pada tahun 1997-1998.
Dan mereka selalu beranggapan bahwa bunga itu tetap halal. Padahal bunga itu ditetapkan di awal belum tentu suatu usaha akan untung tapi mereka sudah bisa memastikan keuntungan yang didapatkan. Padahal jika mereka membuka ayat suci al-Qur’an dan memahaminya seperti:
Artinya:  Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok (manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, namun demikian mereka diwajibkan berusaha). dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Lukman: 34)
Tentu bunga yang ada di dalam lembaga keuangan tersebut sudah menentang ketetapan Allah Swt. Maka patutkah kita juga membenarkan pandangan bunga? Mari kita saling mengingatkan dan menasehati. Tidak dapat dipungkiri bank syariah belumlah sempurna tapi bukan mesti kita mengabaikan tapi ini adalah langkah awal untuk perubahan. Dukunglah perkembagan ekonomi Syariah dan berperan aktif dalam perkembangannya.

Dan masih banyak tanggapan masyarakat terhadap ekonomi Syariah. Jangan menyerah pasti ada jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar