Minggu, 28 April 2019

Puasanya Dua Wanita Penggunjing

Puasanya Dua Wanita Penggunjing

Dikisahkan bahwa pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ada dua orang wanita yang berpuasa, lalu ada yang menceritakan perihal keduanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, di sini ada dua orang wanita yang berpuasa, keduanya hampir mati karena kehausan.” Ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam malah berpaling dan tidak menggubrisnya. Orang itu pun datang lagi kepada beliau dan kembali menceritakan kejadian tersebut. Dia berkata, “Wahai Rasulullah keduanya hampir mati.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Panggilkeduanya.” Akhirnya kedua wanita itu pun datang. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meminta untuk diambilkan sebuah ember, lalu beliau bersabda, “Muntahlah!” Maka salah satu dari keduanya pun muntahh, ternyata dia memuntahhkan air nanah bercambur darah sehingga memenuhi setengah ember. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita yang satunya untuk muntah, dan dia pun memuntahkan nanah bercampur darah sehingga ember itu penuh, lalu beliau bersabda, “Kedua wanita ini berpuasa dari apa yang dihalalkan oleh Allah namun malah berbuka dengan yang diharamkan oleh-Nya, keduanya duduk-duduk untuk makan daging manusia.”

Kemasyhuran Kisah

Kisah ini cukup masyhur dan banyak disampaikan oleh sebagian penceramah terutama saat bulan Ramadhan untuk memperingatkan kaum muslimin yang sedang berpuasa agar tidak melakukan perbuatan haram semacam menggunjing.

Derajat Kisah

Kisah ini LEMAH. Syaikh al-Albani (Silsilah Abdits Dhoifah, no.519) menyebutkan hadis:
Sesungguhnya kedua orang wanita ini berpuasa dari apa yang dihalalkan oleh Allah namun berbuka dengna apa yang diharamkan oleh Allah dan keduanya. Salah seorang dari keduanya duduk pada yang lainnya lalu keduanya memakan daging manusia.
Kemudian beliau (al-Albani) berkata, “Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5:431) dari seseorang dari Ubaid maula Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata: -lalu rowi hadis ini menceritakan kejadian di atas-. Sanad hadis ini lemah karena ada seorang rowi yang tidak disebut namanya.
Al-Hafizh al-Iraqi (1:211) berkata, ‘Dia seorang yang tidak dikenal.’ Hadis ini juga diriwayatkan oleh ath-Thoyalisi (1:188), beliau berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Robi dari Yazid dari Anas.’ Sanad ini sangat lemah. Robi’ (yang dimaksud) ini adalah Robi’ bin Shobih, dia seorang yang lemah. Sedangkan Yazid (yang dimaksud di sini) adalah Yazid bin Aban ar-Ruqosyi, dia seorang yang matruk (hadisnya ditinggalkan).”

Pelajaran dari Kisah

Pelajaran pertama
Kendati diketahui bahwa hadis ini lemah, janganlah seorang pun beranggapan bahwa ghibah (menggunjing orang lain) saat puasa diperbolehkan. Pembahasan tentang lemahnya hadis ini sama sekali tidak menunjukkan hal itu. Akan tetapi, perlunya dibahas tentang kelemahan kisah ini hanya untuk menunjukkan bahwa kisah ini tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mengenai masalah ghibah, tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa ghibah adalah haram, baik pada saat puasa maupun tidak. Ketika menafsirkan Surat Al-Hujurot ayat 12 di atas, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ghibah haram menurut kesepakatan para ulama dan tidak ada perkecualian sedikit pun selain yang lebih kuat masalahnya seperti untuk jarh dan tadil atau untuk sebuah nasihat.”
Imam al-Qurthubi berkata, “Para ulama sepakat bahwa ghibah merupakan dosa besar.”
Terlalu banyak dalil yang menunjukkan atas hal itu, di antaranya adalah ayat di atas dan sabda Rasullah shallallahu alaihi wa sallam,
Dari Anas beliau berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Pada saat di-miraj-kan saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga, mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Maka aku bertanya, Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang makan daging manusia (berbuat ghibah, pen.) dan mencela kehormatan orang lain.” (HR. Abu Dawud: 4878, lihat Shohih Targhib: 2839)
Di samping itu, orang yang melakukan ghibah saat berpuasa tidak akan berpahala. Dari Abu Hurairah beliau berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan haram dan malah mengerjakannya, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhori)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah perisai, maka jangan berkata kotor, dan jangan berbuat kebodohan. Jka ada seseorang yang memerangimu atau mencelamu maka katakanlah: saya sedang puasa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Pelajaran Kedua
Apakah ghibah membatalkan puasa ataukah tidak? Jawabannya, ghibah dan perbuatan haram lainnya tidaklah membatalkan hakikat puasa. Hanya perbuatan haram tersebut bisa membatalkan atau mengurangi pahala puasa, sebagaimana keterangan di atas. Sementara itu, Imam Ibnu Hazm menganggap bahwa semua perbuatan haram tersebut bisa membatalkan puasa seseorang. Beliau berkata (Al-Muhalla, no. 734), “Puasa juga bisa batal dengan menyengaja berbuat maksit, apa pun perbuatan maksiat tersebut tanpa ada satu pun yang terkecuali, jika dia melakukannya sengaja dan ingat kalau sedang puasa. Seperti menyentuh atau mencium selain istrinya, berdusta, ghibahnamimah (mengadu domba), sengaja meninggalkan sholat, berbuat zhalim (aniaya), atau perbuatan haram lainnya.”
Namun, yang benar –insya Allah- adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa ghibah tidaklah membatalkan puasa. Wallahu alam.
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisit 10 Tahun Ke-8 1430/2009


Read more https://kisahmuslim.com/2405-puasanya-dua-wanita-penggunjing.html

Membaca yang Tidak Tertulis, Melihat yang Tidak Kasat Mata

Membaca yang Tidak Tertulis, Melihat yang Tidak Kasat Mata.

 Tidak semisteri seperti yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, mambaca yang tidak tertulis dan melihat yang tidak kasat mata ternyata merupakan bagian yang sangat penting dalam ajaran agama islam. 
Sebagai contoh ayat yang pertama kali turun adalah Iqro' atau bacalah (QS 96:1) padahal Al Qur'an turun ke Nabi yang Ummi atau tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis. Jadi yang disuruh membaca apa? tentu bukan hanya yang tertulis, tetapi juga yang tidak tertulis. Kemudian bagian keimanan pertama yang disebut di Al Qur'an adalah iman kepada yang ghaib (QS 2: 3).

Jadi kalau kita tidak bisa membaca yang tidak tertulis dan tidak bisa melihat apa yang tidak kasat mata maka kita akan kehilangan bagian terbesar dari ajaran agama ini dan juga kehilangan keimanan kita.